Entri yang Diunggulkan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

Belakangan ini, masalah fitnah dan pencemaran nama baik khususnya dalam hukum pidana, banyak menjadi sorotan, baik dalam rumusannya maupun d...

17 September 2016

KONFIGURASI POLITIK INDONESIA





DINAMIKA KONFIGURASI POLITIK INDONESIA
(PERUBAHAN STRUKTURAL KONFIGURASI POLITIK PASCA REFORMASI)



A.    PENDAHULUAN
            Reformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks (indices) demokrasi.Nilai-nilai dasar demokrasi bertumpu pada 5 indeks utama yaitu : system pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan publik, keberadaan pemerintah yang terbuka, akuntabel dan responsive, promosi dan perlindungan HAM (khususnya HAM sipil dan politik), keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri (civil society) dan eksistensi kepemimpinan yang “committed”pada nilai-nilai dasar demokrasi. Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal tersebut akan terjadi “political malpractice” yang bersifat subyektif, “sub-standard”, yang merugikan kehidupan bangsa dan negara. Dalam praktek dan tanpa adanya standard yang baku, negara yang paling otoriterpun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis.
             Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political machinery), tetapi juga mengandung  pandangan hidup (way of living) suatu masyarakat. Tinggi rendahnya  standar demokrasi  tergantung dari pelbagai factor pendukung (facilitating conditions), seperti tingkat kemajuan social-ekonomi, kualitas golongan menengah (intermediate structure) dan kualitas kepemimpinan, serta penafsiran tentang makna relativisme cultural. Pokoknya “there is probably no single  word which has been more meanings than democracy
            Politik dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik  akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai  konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa  yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya  dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi  dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
            Dalam sistem politik (political system), para  pengambil keputusan (decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input)  berupa tuntutan (demands)  dari kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dan dukungan (support)  masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs)  berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk yang utama yaitu :  pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap sistem politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the product of political system).
B.     Konfigurasi Politik
            Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pasca pemilu 1999 peranan partai politik di Indonesia kembali menguat, karena tidak adanya satu partai pun yang menguasai suara mayoritas di parlemen yakni MPR dan DPR dan juga karena iklim demokrasi sudah menyelimuti kehidupan politik di Indonesia sejak era reformasi bergulir di Indonesia. Tatanan politik pun berubah seiring dengan semakin berkurangnya peran dan dwifungsi ABRI dalam ketatanegaraan.
            Pengangkatan anggota ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI sudah kurang pada periode sebelumnya. Dari 75 kursi yang tersedia menjadi 38 kursi di parlemen. Di MPR tidak ada lagi pengangkatan tambahan selain yang berasal dari DPR, yaitu melalui utusan daerah. Jumlah anggota DPR pasca pemilu 1999 sebanyak 500 orang, 462 orang duduk melalui pemilihan umum sedangkan 38 orang merupakan pengangkatan wakil ABRI. Sedangkan anggota MPR berjumlah 700 orang, 500 orang dari anggota DPR, 125 orang utusan daerah, dan 75 orang utusan golongan. Semua anggota MPR dari utusan daerah, karena memang dipilih oleh DPRD sehingga umumnya orang partai bergabung dengan partainya dari DPR menjadi satu fraksi di MPR. Tetapi anggota MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang dengan komposisi, sebagai berikut :
  1. Reformasi adalah gabungan dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
  2. Kesatuan Kebangsaan Indonesia adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
  3. Perserikatan Daulatul Ummah adalah gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
  4. Komposisi keanggotaan DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang). Dalam perkembangan selanjutnya, antar partai pun bergabung untuk dapat membentuk suatu fraksi yang memenuhi persyaratan sebagaiman yang telah ditentukan.
            Dari konfigurasi politik yang demokratis tetapi tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas di parlemen (dalam DPR), seperti yang telah diuraikan penulis diatas, maka akan sulit bagi suatu fraksi untuk menggolkan programnya tanpa berkoalisi dengan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai mayoritas di kedua lembaga negara tersebut. Demikian juga halnya dengan eksekutif adalah sulit bagi presiden untuk menggolkan rancangan UU yang diajukan ke DPR. Dan disisi lain, demikian pula terjadi dalam setiap sidang tahunan MPR, presiden harus dapat pula menampung aspirasi-aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia tidak kesulitan dalam meloloskan program dan pertanggungjawabannya. Seblum amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan yang keempat tahun 2002. Sesudah tahun 2002, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR seperti pada masa sebelumnya. Presiden dapat diberhentikan MPR hanya bila melanggar hukum bukan karena masalah politik.
            Dengan konfigurasi politik seperti itu, peranan partai politik menguat kembali seperti pada masa liberal dulu. DPR dan pemerintah telah menetapkan undang-undang tentang pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD dan pemilu langsung sebagaimana para masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dalam undang-undang baru tersebut, tidak ada lagi pengangkatan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Partai politik diberi peranan yang besar dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil persiden, perorangan untuk pemilihan anggota DPD. Kondisi seperti ini akan membangun peranan partai politik secara kokoh ke depannya. Sebaliknya, peranan POLRI dan ABRI akan semakin menurun. Dwifungsi ABRI yang dominan dan telah pula diformalkan pada masa Orde Baru ditiadakan melalui UU yang baru. Militer dibebaskan dari tugas-tugas politik (“kembali kebarak”), dan dikonsentrasikan kepada tugas-tugas pertahanan dan membantu polisi dalam menegakkan keamanan atas permintaan polisi.
            Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bebas menentukan dan mengangkat menteri-menterinya, tetapi karena Presiden RI, pada era kepemimpinan SBY, partai politik tidak ada yang mempunyai suara dominan di parlemen, hal ini telah berdampak negatif pada kontrak politik secara diam-diam antar partai tertentu dalam menentukan masing-masing menteri yang akan direkrut. Sedangkan pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, saat membentuk kabinetnya mengikuti konfigurasi politik di DPR dan MPR, dikarenakan di masing-masing lembaga tersebut tidak memilik suara partai politik yang dominan pula. Menurut seperti alur yang telah disebutkan, tindakan Abdurahman Wahid yang kemudian menggantikan meteri-menteri untuk selanjutnya dipilih sendiri olehya, maka hal ini yang menjadi faktor utama dia diberhentikan apda masa itu, sehingga menghasilkan sidang istimewa tahun 2001, sedangkan pada masa pemerintahan Megawati yang menggantikan, jelas bahwa dalam menentukan menteri-menterinya, dia mengikuti konfigurasi dan taat asas serta skenario konfigurasi politik tersebut diatas, itulah sebabnya ia menyebukan kabinetnya dengan nama kabinet gotong royong.
C.     Format Politik dan Politik Hukum
            Format politik sebenarnya sama dengan sistem politik yang dibangun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jangka pendek atau jangka menengah yang sebelumnya kurang atau tidak mendapat perhatian oleh pemerintah yang ada. Pada negara-negara yang menganut konstitusional, jarang disebut format politik karena sistem politik yang berlaku umumnya sudah mapan, diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, sehingga mendukung sistem poitik tersebut.
            Dalam memahami dan menjelaskan format politik tersebut, penulis mengemukakan perjalanan sistem politik demokrasi liberal, sebagaimana dikemukakan oleh Alvian (dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1978), yang menyebutkan : “Dua pengalaman traumatis dalam zaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung Orde Baru buat membangun sistem politik yang lain dari keduanya itu. Pilihan mereka jatuh pada sistem politik yang dikehendaki oleh UUD ’45 yaitu mengembangkan suatu sistem politik yang sesuai dengan tuntutan demokrasi pancasila”. Proses perpolitikan ke arah mencapai tujuan itulah yang disebut sebagai format baru poltik Indonesia.
            Salah satu indikasi contoh politik hukum yang diciptakan pada masa Orde Baru adalah dalam rangka mendukung format politik dengan ciri menggantikan hukum tentang pertahanan keamanan negara yang ada dianggap tidak sesuai dengan format politik baru itu, dengan hukum yang baru yang sesuai. Untuk itu penguasa Orde Baru mencabut UU no. 29 Tahun 1954 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peratahanan Keamanan Negara menjadi UU No. 20 tahun 1982, dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut salah satu materi yang dirubah adalah pasal 28, hal mana menyebutkan bahwa : “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial”, sedangkan dalam UU yang baru ini menjelaskan bahwa : “Angkatan bersenjata sebagai kekuatan bertindak, selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari format politik tersebut diatas, nyata bahwa format politik menjadi sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD ’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).
D.    Politik Sebagai Produk Hukum
            Di era reformasi saat ini hukum sebagai produk politik, sehingga karakter setiap pro-duk hukum akan sangat ditentukan atau di-warnai oleh imbangan kekuatan atau konfi-gurasi politik yang melahirkannya. Hal ter-sebut merupakan sebuah fakta dimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dari kalangan para politisi dan hal ini dapat kita lihat pada Undang-Undang Pemilu.  Konsep demokratis dan otoriter (non-demokratis) diidentifikasikan berdasarkan ti-ga indikator yaitu: sistem kepartaian dan pe-ran badan perwalian, peran eksekutif dan ke-bebasan pers, sedangkan konsep hukum res-ponsif/otonom diidentifikasikan berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
            Produk hukum masih banyak yang orto-doks, karakter produk dan penegakan hukum selalu berubah sesuai dengan perubahan-pe-rubahan politik. Kalau konfigurasi politik tampil demokratis, hukum jadi responsif. Na-mun, ketika konfigurasi politik berubah jadi otoriter, hukum pun menjadi berwatak kon-servatif atau ortodoks. Hal ini dapat kita lihat dimana hukum tetap berwatak ortodoks de-ngan penegakan yang lemah justru ketika reformasi berhasil membongkar konfigurasi politik Orde Baru yang otoriter. Sehingga re-formasi yang berintikan demokratisasi dalam kehidupan politik ternyata tak berhasil mem-buat hukum jadi responsif.
E.     Struktural Politik Pasca Reformasi
            Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya
a.       Pemerintahan B.J Habibie
            Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi.  Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militeryang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan structural. Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UIYun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi
b.      Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di AcehMaluku, dan Papua. DiTimor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap
c.       Pemerintahan Megawati soekarno putrid
            Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
d.      Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
            Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
            Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal
            Politik dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik  akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai  konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa  yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya  dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi  dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
            Dalam system politik (political system), para  pengambil keputusan (decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input)  berupa tuntutan (demands)  dari kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dan dukungan (support)  masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs)  berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk yang utama yaitu :  pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijak an umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap system politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk system politik (the product of political system). Demikian pula apa yang dinamakan politik hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik sosial (social policy). Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas system politik yang memegang kendali pemerintahan
F.      Konfigurasi Politik Indonesia
            Tata pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik terutama dimana hukum sebagai produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkanya. Hal tersebut merupakan sebuah fakta dimana setiap produk hukum merupakan produk ke-putusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dari kalangan para politisi. Konsep demokratis dan otoriter (non-demokratis) diidentifikasikan berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian dan pe-ran badan perwalian, peran eksekutif dan ke-bebasan pers, sedangkan konsep hukum res-ponsif/otonom diidentifikasikan berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
Menurut Arif Rahman di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui to-lak-tarik antara yang demokratis dan oto-ritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsif dan yang konservatif. Sementara itu untuk membangun tata tertib hukum dan me-minimalisir pengaruh politik, judicial review sebenarnya dapat dijadikan alat kontrol yang baik, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan ter-nyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak dapat dioperasionalkan. Hal ini dikarenakan fungsi dan peranan hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik.
Harus dipahami bahwa upaya mengu-bah hukum menjadi responsif harus didahului dengan perubahan konfigurasi politik agar menjadi demokratis sebab tak mungkin hu-kum responsif lahir dari politik yang tidak demokratis.
Konfigurasi politik yang demo-kratis tersebut antara lain:
1.      Demokrasi liberal ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan tindakan peme-rintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok, dengan menyusun pergantian pemimpin secara berkala, tertib dan damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif.
2.      Memberikan toleransi terhadap sikap ber-lawanan, menuntut keluwesan dan kese-diaan untuk bereksperimen.
3.      Pencalonan dan pemilihan anggota lem-baga-lembaga perwakilan politik berlang-sung fair.
4.      Lembaga-lembaga itu mendapat kesem-patan yang luas untuk membahas persoal-an-persoalan, mengkritik dan mengkris-talisasikan pendapat umum.
5.      Adanya sikap menghargai hak-hak mino-ritas dan perorangan, lebih mengutama-kan diskusi dibanding paksaan dalam me-nyelesaikan perselisihan, sikap menerima legitimasi sistem pemerintahan yang berlaku dan penggunaan metode eksperi-men.

Jika konfigurasi politik demokratis ma-ka akan melahirkan karakter hukum yang res-ponsif. Konfigurasi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijak-sanaan umum, partisipasi ini dapat ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di-dasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya ke-bebasan politik.
            Begitupun jika konfigurasi politik otori-ter akan melahirkan karakter hukum yang konservatif atau ortodoks. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfi-gurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekua-saan untuk memaksakan persatuan, pengha-pusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik.
            Dalam mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, maka indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, kebebasan pers dan peran-an pemerintah. Untuk mengidentifikasi apa-kah suatu produk hukum responsif atau orto-doks, maka indikator-indikatornya yang di-pergunakan adalah proses pembuatannya sifat dan fungsinya dan kemungkinan penafsiran-nya. Perundang-undangan di bidang politik dalam hal ini Undang-undang 15 Tahun 2011 pengganti UU No.12 tahun 2003 tentang Pe-milu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presi-den.
Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan ketatanegara-an. Oleh karena itu, dari kajian Hukum Tata Negara, pemilu merupakan proses pengam-bilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping itu pemilu memiliki fungsi rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan. Begitu mendasarnya pemilu sebagai sarana pelak-sanaan kedaulatan rakyat dapat kita telusuri sejak awal berdirinya republik ini, kurun waktu orde baru sampai dengan orde reformasi sekarang ini terutama dalam konfigurasi politik demokratis dalam produk hukum pemilu yang responsif.
1.      Konfigurasi politik demokrasi adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperanya potensi rakyat secara maksi-mal untuk turut serta aktif menentukan kebijakan Negara. Dalam konteks ini Ne-gara merupakan komite yang harus me-laksanakan kehendak rakyat yang diru-muskan secara demokratis.
2.      Konfigurasi politik otoriter merupakan konfigurasi yang menempatkan peme-rintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Ne-gara sehingga potensi dan aspirasi masya-rakat tidak teragregasi dan terartikulir se-cara proporsional.
3.      Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencer-minkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam mayarakat sehingga mam-pu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.
4.      Produk hukum konservatif/ortodoks ada-lah produk hukum yang karakternya men-cerminkan visi politik pemegang kekua-saan dominan sehingga pembuatannya ti-dak mengandung partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.

            Pada awal reformasi memang terlihat bahwa konfigurasi politik berubah arah dari otoriter ke demokratis sehingga berhasil memproduksi berbagai UU yang responsif. Namun, suasana demokratis itu hanya ber-langsung beberapa tahun karena setelah itu konfigurasi politik berbelok ke arah yang oli-garkis. Meminjam ungkapan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, idea reformasi kita tentang demokratisasi telah dicuri dan dibuang oleh petualang-petualang politik yang korup yang berkolusi dengan pengusaha-pengusaha hitam.
            Wajarlah kalau kemudian kinerja hukum kita tidak responsif sebab konfigurasi politik kita bukanlah demokratis melainkan konfigurasi yang oligarkis. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis keputusan-kepu-tusan penting kenegaraan dilakukan oleh para elite secara kolutif dan koruptif. Partai politik tidak lagi dapat menyentuh fungsi idealnya sebab di dalam sistem yang oligarkis par-pol hanya menjadi political crowded (keru-butan politik). Di dalam kerubutan politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang untuk memperoleh kue politik bagi dirinya sendiri, perekrutan politik menjadi sangat eli-tis dan menindas. Meski tidak semuanya, ba-nyak parpol kita kini sedang dilanda penyakit oligarkis ini.
Jangan heran jika ada anggota-anggota parlemen bersuara kritis atas satu kebijakan, tetapi kemudian diberangus oleh elitenya sendiri karena transaksi politik, baik dengan imbalan uang maupun posisi. Jangan heran kalau dalam kenyataan politik kita dikendalikan oleh berbagai kepentingan. Hukum responsif hanya bisa hidup di alam demokratis, bukan di dalam sistem yang oligarkis.
Agenda penting untuk membangun hukum responsif adalah mendorong perubahan agar tampil konfigurasi politik yang dem-kratis. Namun, itu tidaklah mudah karena pe-rubahan itu akan sangat bergantung juga pada elite-elite politik yang oligarkis.  Undang-Undang No.15 tahun 2011 berciri konfigurasi politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Pemi-lu merupakan proses pengambilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping Pemilu memiliki fungsi rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan.
G.   Simpulan
            Identifikasi suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan partai politik dan Lembaga Perwakilan Rakyat, kebebasan pers dan peranan pemerintah. Sedang-kan untuk mengidentifikasi apakah suatu pro-duk hukum responsif atau ortodoks, maka indikatornya-indikatornya yang dipergunakan adalah proses pembuatannya, sifat dan fung-sinya dan kemungkinan penafsirannya.
            Faktor terpenting yang mempengaruhi pelaksanaan langsung oleh rakyat adalah se-jalan dengan era reformasi yang mengede-pankan kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi menuju kedaulatan rakyat yang se-sungguhnya, mengganti ketentuan lama yang dinilai kurang demokratis maupun dikatakan cacat hukum dengan ketentuan yang baru yang menjadi payung hukum pelaksanaan pe-milu yang akan datang.  Hal terpenting yang mempengaruhi pro-ses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah, menarik simpati du-nia internasional, melakukan harmonisasi hu-kum di Indonesia, merespon kebutuhan ma-syarakat permasalahan seputar Undang-Un-dang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Pre-siden lebih besar pada aspek pelanggaran da-lam rangkaian Pemilu, kurang sosialisasi atau memang ketaatan masyarakat pada Undang-Undang masih rendah.
            Hal demikian itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang diamanat-kan dalam konstitusi kita UUD 1945. Karena itu komitmen yang telah disepakati pada orde baru hendaknya selalu diusahakan untuk di-patuhi dalam praktek ketatanegaraan, sehing-ga dengan demikian prinsip “Rule of Law” dapat benar-benar ditegakkan bukan rule of power yang dipertahankan. Dengan mengga-risbawahi prinsip Indonesia adalah negara konstitusional, konstitusi kita UUD 1945 te-lah menempatkan hukum dalam posisi supre-me dan menentukan dalam sistem ketata-negaraan Indonesia