A. PENDAHULUAN
Reformasi sendiri
pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan
kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks (indices)
demokrasi.Nilai-nilai dasar demokrasi bertumpu pada 5 indeks utama yaitu :
system pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan publik, keberadaan
pemerintah yang terbuka, akuntabel dan responsive, promosi dan perlindungan HAM
(khususnya HAM sipil dan politik), keberadaan masyarakat yang penuh percaya
diri (civil society) dan eksistensi kepemimpinan yang “committed”pada
nilai-nilai dasar demokrasi. Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai
universal tersebut akan terjadi “political malpractice” yang bersifat
subyektif, “sub-standard”, yang merugikan kehidupan bangsa dan negara.
Dalam praktek dan tanpa adanya standard yang baku, negara yang paling
otoriterpun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis.
Secara
ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political
machinery), tetapi juga mengandung pandangan hidup (way of living)
suatu masyarakat. Tinggi rendahnya standar demokrasi tergantung
dari pelbagai factor pendukung (facilitating conditions), seperti
tingkat kemajuan social-ekonomi, kualitas golongan menengah (intermediate
structure) dan kualitas kepemimpinan, serta penafsiran tentang makna
relativisme cultural. Pokoknya “there is probably no single word which
has been more meanings than democracy”
Politik
dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab
politik akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan
pelbagai konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan.
Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan politik
negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam
masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk
mendukung keputusan-keputusannya dengan menggunakan atau menerapkan
ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
Dalam
sistem politik (political system), para pengambil keputusan (decision
makers) selalu mempertimbangkan masukan (input) berupa
tuntutan (demands) dari kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups) dan dukungan (support) masyarakat yang percaya pada
ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process),
mereka merumuskan keluaran (outputs) berupa keputusan-keputusan
dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk
yang utama yaitu : pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijakan
umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap
sistem politik harus memperhatikan umpan balik (feed back).
Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the
product of political system).
B. Konfigurasi Politik
Seperti
yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pasca pemilu 1999 peranan partai
politik di Indonesia kembali menguat, karena tidak adanya satu partai pun yang
menguasai suara mayoritas di parlemen yakni MPR dan DPR dan juga karena iklim
demokrasi sudah menyelimuti kehidupan politik di Indonesia sejak era reformasi
bergulir di Indonesia. Tatanan politik pun berubah seiring dengan semakin
berkurangnya peran dan dwifungsi ABRI dalam ketatanegaraan.
Pengangkatan
anggota ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI sudah kurang pada periode
sebelumnya. Dari 75 kursi yang tersedia menjadi 38 kursi di parlemen. Di MPR
tidak ada lagi pengangkatan tambahan selain yang berasal dari DPR, yaitu
melalui utusan daerah. Jumlah anggota DPR pasca pemilu 1999 sebanyak 500 orang,
462 orang duduk melalui pemilihan umum sedangkan 38 orang merupakan pengangkatan
wakil ABRI. Sedangkan anggota MPR berjumlah 700 orang, 500 orang dari anggota
DPR, 125 orang utusan daerah, dan 75 orang utusan golongan. Semua anggota MPR
dari utusan daerah, karena memang dipilih oleh DPRD sehingga umumnya orang
partai bergabung dengan partainya dari DPR menjadi satu fraksi di MPR. Tetapi
anggota MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang dengan
komposisi, sebagai berikut :
- Reformasi adalah gabungan dari
Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
- Kesatuan Kebangsaan Indonesia
adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
- Perserikatan Daulatul Ummah adalah
gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
- Komposisi keanggotaan DPR
berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk
fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat
membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang). Dalam
perkembangan selanjutnya, antar partai pun bergabung untuk dapat membentuk
suatu fraksi yang memenuhi persyaratan sebagaiman yang telah ditentukan.
Dari
konfigurasi politik yang demokratis tetapi tidak ada satu partai yang menguasai
mayoritas di parlemen (dalam DPR), seperti yang telah diuraikan penulis diatas,
maka akan sulit bagi suatu fraksi untuk menggolkan programnya tanpa berkoalisi
dengan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai mayoritas di kedua lembaga negara
tersebut. Demikian juga halnya dengan eksekutif adalah sulit bagi presiden
untuk menggolkan rancangan UU yang diajukan ke DPR. Dan disisi lain, demikian
pula terjadi dalam setiap sidang tahunan MPR, presiden harus dapat pula
menampung aspirasi-aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia tidak kesulitan dalam
meloloskan program dan pertanggungjawabannya. Seblum amandemen ketiga UUD 1945
tahun 2001 dan yang keempat tahun 2002. Sesudah tahun 2002, presiden tidak lagi
bertanggungjawab kepada MPR seperti pada masa sebelumnya. Presiden dapat
diberhentikan MPR hanya bila melanggar hukum bukan karena masalah politik.
Dengan
konfigurasi politik seperti itu, peranan partai politik menguat kembali seperti
pada masa liberal dulu. DPR dan pemerintah telah menetapkan undang-undang
tentang pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD dan pemilu langsung sebagaimana para
masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla (JK). Dalam undang-undang baru tersebut, tidak ada lagi
pengangkatan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Partai politik diberi peranan
yang besar dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden dan
wakil persiden, perorangan untuk pemilihan anggota DPD. Kondisi seperti ini
akan membangun peranan partai politik secara kokoh ke depannya. Sebaliknya,
peranan POLRI dan ABRI akan semakin menurun. Dwifungsi ABRI yang dominan dan
telah pula diformalkan pada masa Orde Baru ditiadakan melalui UU yang baru.
Militer dibebaskan dari tugas-tugas politik (“kembali kebarak”), dan
dikonsentrasikan kepada tugas-tugas pertahanan dan membantu polisi dalam
menegakkan keamanan atas permintaan polisi.
Walaupun
dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bebas menentukan dan
mengangkat menteri-menterinya, tetapi karena Presiden RI, pada era kepemimpinan
SBY, partai politik tidak ada yang mempunyai suara dominan di parlemen, hal ini
telah berdampak negatif pada kontrak politik secara diam-diam antar partai
tertentu dalam menentukan masing-masing menteri yang akan direkrut. Sedangkan
pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, saat membentuk kabinetnya mengikuti
konfigurasi politik di DPR dan MPR, dikarenakan di masing-masing lembaga
tersebut tidak memilik suara partai politik yang dominan pula. Menurut seperti
alur yang telah disebutkan, tindakan Abdurahman Wahid yang kemudian
menggantikan meteri-menteri untuk selanjutnya dipilih sendiri olehya, maka hal
ini yang menjadi faktor utama dia diberhentikan apda masa itu, sehingga
menghasilkan sidang istimewa tahun 2001, sedangkan pada masa pemerintahan
Megawati yang menggantikan, jelas bahwa dalam menentukan menteri-menterinya,
dia mengikuti konfigurasi dan taat asas serta skenario konfigurasi politik
tersebut diatas, itulah sebabnya ia menyebukan kabinetnya dengan nama kabinet
gotong royong.
C. Format Politik dan Politik Hukum
Format
politik sebenarnya sama dengan sistem politik yang dibangun untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, jangka pendek atau jangka menengah yang sebelumnya
kurang atau tidak mendapat perhatian oleh pemerintah yang ada. Pada
negara-negara yang menganut konstitusional, jarang disebut format politik
karena sistem politik yang berlaku umumnya sudah mapan, diterima oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, sehingga mendukung sistem poitik
tersebut.
Dalam
memahami dan menjelaskan format politik tersebut, penulis mengemukakan
perjalanan sistem politik demokrasi liberal, sebagaimana dikemukakan oleh
Alvian (dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia,
Jakarta, 1978), yang menyebutkan : “Dua pengalaman traumatis dalam zaman
demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung Orde Baru
buat membangun sistem politik yang lain dari keduanya itu. Pilihan mereka jatuh
pada sistem politik yang dikehendaki oleh UUD ’45 yaitu mengembangkan suatu
sistem politik yang sesuai dengan tuntutan demokrasi pancasila”. Proses
perpolitikan ke arah mencapai tujuan itulah yang disebut sebagai format baru
poltik Indonesia.
Salah
satu indikasi contoh politik hukum yang diciptakan pada masa Orde Baru adalah
dalam rangka mendukung format politik dengan ciri menggantikan hukum tentang
pertahanan keamanan negara yang ada dianggap tidak sesuai dengan format politik
baru itu, dengan hukum yang baru yang sesuai. Untuk itu penguasa Orde Baru
mencabut UU no. 29 Tahun 1954 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peratahanan
Keamanan Negara menjadi UU No. 20 tahun 1982, dalam UU No. 20 Tahun 1982
tersebut salah satu materi yang dirubah adalah pasal 28, hal mana menyebutkan
bahwa : “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan
keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial”, sedangkan dalam UU yang baru ini
menjelaskan bahwa : “Angkatan bersenjata sebagai kekuatan bertindak, selaku
dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya
memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa
dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Dari format politik tersebut diatas, nyata bahwa format politik
menjadi sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD
’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat
hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).
D. Politik
Sebagai Produk Hukum
Di
era reformasi saat ini hukum sebagai produk politik, sehingga karakter setiap
pro-duk hukum akan sangat ditentukan atau di-warnai oleh imbangan kekuatan atau
konfi-gurasi politik yang melahirkannya. Hal ter-sebut merupakan sebuah fakta
dimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum
dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling
berinteraksi dari kalangan para politisi dan hal ini dapat kita lihat pada
Undang-Undang Pemilu. Konsep demokratis dan otoriter
(non-demokratis) diidentifikasikan berdasarkan ti-ga indikator yaitu: sistem
kepartaian dan pe-ran badan perwalian, peran eksekutif dan ke-bebasan pers,
sedangkan konsep hukum res-ponsif/otonom diidentifikasikan berdasarkan proses
pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
Produk
hukum masih banyak yang orto-doks, karakter produk dan penegakan hukum selalu
berubah sesuai dengan perubahan-pe-rubahan politik. Kalau konfigurasi politik
tampil demokratis, hukum jadi responsif. Na-mun, ketika konfigurasi politik
berubah jadi otoriter, hukum pun menjadi berwatak kon-servatif atau ortodoks.
Hal ini dapat kita lihat dimana hukum tetap berwatak ortodoks de-ngan penegakan
yang lemah justru ketika reformasi berhasil membongkar konfigurasi politik Orde
Baru yang otoriter. Sehingga re-formasi yang berintikan demokratisasi dalam
kehidupan politik ternyata tak berhasil mem-buat hukum jadi responsif.
E. Struktural
Politik Pasca Reformasi
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Berakhirnya rezim Orde Baru, telah
membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan
hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari
sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik
dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi
politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu
pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai
dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih
suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis,
ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada
kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan
memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya
a. Pemerintahan B.J Habibie
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militeryang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan structural. Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militeryang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan structural. Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi
b. Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemerintahan
Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di
bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama,
terutama di Aceh, Maluku, dan Papua.
DiTimor Barat, masalah yang ditimbulkan
rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang
dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik
yang meluap-luap
c. Pemerintahan Megawati soekarno putrid
Pada
Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan
pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001,
ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri
dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR
untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia
mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari
kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian.
d. Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
Pemilu
2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak
beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai
Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat
(Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan
Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan
JK, dengan meraih 60,95 persen. Susilo Bambang
Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah
baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan
besar, seperti gempa
bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh
lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi
lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005,
sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia
dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama
30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY
yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di
kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja
mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal
Politik
dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab
politik akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan
pelbagai konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan.
Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan politik
negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam
masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk
mendukung keputusan-keputusannya dengan menggunakan atau menerapkan
ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.
Dalam
system politik (political system), para pengambil keputusan (decision
makers) selalu mempertimbangkan masukan (input) berupa
tuntutan (demands) dari kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups) dan dukungan (support) masyarakat yang percaya pada
ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process),
mereka merumuskan keluaran (outputs) berupa keputusan-keputusan
dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk
yang utama yaitu : pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijak an
umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap
system politik harus memperhatikan umpan balik (feed back).
Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk system politik (the
product of political system). Demikian pula apa yang dinamakan politik
hukum (legal policy) sebagai bagian dari politik sosial (social
policy). Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku
dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas system politik yang
memegang kendali pemerintahan
F. Konfigurasi Politik Indonesia
Tata
pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang
akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik terutama dimana
hukum sebagai produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat
ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkanya. Hal tersebut merupakan sebuah fakta dimana setiap produk hukum
merupakan produk ke-putusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai
kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dari kalangan para
politisi. Konsep demokratis dan otoriter (non-demokratis) diidentifikasikan
berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian dan pe-ran badan perwalian,
peran eksekutif dan ke-bebasan pers, sedangkan konsep hukum res-ponsif/otonom
diidentifikasikan berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum
dan kewenangan menafsirkan hukum.
Menurut
Arif Rahman di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui to-lak-tarik
antara yang demokratis dan oto-ritarian, sedangkan karakter produk hukum
mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsif dan yang konservatif.
Sementara itu untuk membangun tata tertib hukum dan me-minimalisir pengaruh
politik, judicial review sebenarnya dapat dijadikan alat
kontrol yang baik, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan ter-nyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak
dapat dioperasionalkan. Hal ini dikarenakan fungsi dan peranan hukum sangat
dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik.
Harus
dipahami bahwa upaya mengu-bah hukum menjadi responsif harus didahului dengan
perubahan konfigurasi politik agar menjadi demokratis sebab tak mungkin hu-kum
responsif lahir dari politik yang tidak demokratis.
Konfigurasi
politik yang demo-kratis tersebut antara lain:
1. Demokrasi
liberal ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan tindakan peme-rintah untuk
memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok, dengan menyusun
pergantian pemimpin secara berkala, tertib dan damai, melalui alat-alat
perwakilan rakyat yang bekerja efektif.
2. Memberikan
toleransi terhadap sikap ber-lawanan, menuntut keluwesan dan kese-diaan untuk
bereksperimen.
3. Pencalonan
dan pemilihan anggota lem-baga-lembaga perwakilan politik berlang-sung fair.
4. Lembaga-lembaga
itu mendapat kesem-patan yang luas untuk membahas persoal-an-persoalan,
mengkritik dan mengkris-talisasikan pendapat umum.
5. Adanya
sikap menghargai hak-hak mino-ritas dan perorangan, lebih mengutama-kan diskusi
dibanding paksaan dalam me-nyelesaikan perselisihan, sikap menerima legitimasi
sistem pemerintahan yang berlaku dan penggunaan metode eksperi-men.
Jika
konfigurasi politik demokratis ma-ka akan melahirkan karakter hukum yang
res-ponsif. Konfigurasi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif
menentukan kebijak-sanaan umum, partisipasi ini dapat ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di-dasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya
ke-bebasan politik.
Begitupun
jika konfigurasi politik otori-ter akan melahirkan karakter hukum yang
konservatif atau ortodoks. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem
politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil
hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfi-gurasi ini
ditandai oleh dorongan elit kekua-saan untuk memaksakan persatuan, pengha-pusan
oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara
dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik.
Dalam
mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter,
maka indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan partai politik dan
lembaga perwakilan rakyat, kebebasan pers dan peran-an pemerintah. Untuk
mengidentifikasi apa-kah suatu produk hukum responsif atau orto-doks, maka
indikator-indikatornya yang di-pergunakan adalah proses pembuatannya sifat dan
fungsinya dan kemungkinan penafsiran-nya. Perundang-undangan di bidang politik
dalam hal ini Undang-undang 15 Tahun 2011 pengganti UU No.12 tahun 2003 tentang
Pe-milu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presi-den.
Prinsip
kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat ditandai bahwa setiap warga
negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan
ketatanegara-an. Oleh karena itu, dari kajian Hukum Tata Negara, pemilu
merupakan proses pengam-bilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan
ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka
pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping itu pemilu memiliki fungsi
rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan. Begitu mendasarnya pemilu
sebagai sarana pelak-sanaan kedaulatan rakyat dapat kita telusuri sejak awal
berdirinya republik ini, kurun waktu orde baru sampai dengan orde reformasi
sekarang ini terutama dalam konfigurasi politik demokratis dalam produk hukum
pemilu yang responsif.
1. Konfigurasi
politik demokrasi adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperanya
potensi rakyat secara maksi-mal untuk turut serta aktif menentukan kebijakan
Negara. Dalam konteks ini Ne-gara merupakan komite yang harus me-laksanakan
kehendak rakyat yang diru-muskan secara demokratis.
2. Konfigurasi
politik otoriter merupakan konfigurasi yang menempatkan peme-rintah pada posisi
yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan Ne-gara sehingga potensi dan aspirasi masya-rakat tidak
teragregasi dan terartikulir se-cara proporsional.
3. Produk
hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencer-minkan
pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial
di dalam mayarakat sehingga mam-pu mencerminkan rasa keadilan di dalam
masyarakat.
4. Produk
hukum konservatif/ortodoks ada-lah produk hukum yang karakternya men-cerminkan
visi politik pemegang kekua-saan dominan sehingga pembuatannya ti-dak mengandung
partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
Pada
awal reformasi memang terlihat bahwa konfigurasi politik berubah arah dari
otoriter ke demokratis sehingga berhasil memproduksi berbagai UU yang
responsif. Namun, suasana demokratis itu hanya ber-langsung beberapa tahun
karena setelah itu konfigurasi politik berbelok ke arah yang oli-garkis.
Meminjam ungkapan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, idea reformasi kita
tentang demokratisasi telah dicuri dan dibuang oleh petualang-petualang politik
yang korup yang berkolusi dengan pengusaha-pengusaha hitam.
Wajarlah
kalau kemudian kinerja hukum kita tidak responsif sebab konfigurasi politik
kita bukanlah demokratis melainkan konfigurasi yang oligarkis. Di dalam konfigurasi
politik yang oligarkis keputusan-kepu-tusan penting kenegaraan dilakukan oleh
para elite secara kolutif dan koruptif. Partai politik tidak lagi dapat
menyentuh fungsi idealnya sebab di dalam sistem yang oligarkis par-pol hanya
menjadi political crowded (keru-butan politik). Di dalam
kerubutan politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang untuk memperoleh
kue politik bagi dirinya sendiri, perekrutan politik menjadi sangat eli-tis dan
menindas. Meski tidak semuanya, ba-nyak parpol kita kini sedang dilanda
penyakit oligarkis ini.
Jangan
heran jika ada anggota-anggota parlemen bersuara kritis atas satu kebijakan,
tetapi kemudian diberangus oleh elitenya sendiri karena transaksi politik, baik
dengan imbalan uang maupun posisi. Jangan heran kalau dalam kenyataan politik
kita dikendalikan oleh berbagai kepentingan. Hukum responsif hanya bisa hidup
di alam demokratis, bukan di dalam sistem yang oligarkis.
Agenda
penting untuk membangun hukum responsif adalah mendorong perubahan agar tampil
konfigurasi politik yang dem-kratis. Namun, itu tidaklah mudah karena
pe-rubahan itu akan sangat bergantung juga pada elite-elite politik yang
oligarkis. Undang-Undang No.15 tahun 2011 berciri konfigurasi
politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Pemi-lu
merupakan proses pengambilan keputusan oleh rakyat dalam kehidupan
ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka
pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping Pemilu memiliki fungsi
rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan.
G. Simpulan
Identifikasi
suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, indikator-indikator yang
dipergunakan adalah peranan partai politik dan Lembaga Perwakilan Rakyat,
kebebasan pers dan peranan pemerintah. Sedang-kan untuk mengidentifikasi apakah
suatu pro-duk hukum responsif atau ortodoks, maka indikatornya-indikatornya
yang dipergunakan adalah proses pembuatannya, sifat dan fung-sinya dan
kemungkinan penafsirannya.
Faktor
terpenting yang mempengaruhi pelaksanaan langsung oleh rakyat adalah se-jalan
dengan era reformasi yang mengede-pankan kebebasan, keterbukaan dan
demokratisasi menuju kedaulatan rakyat yang se-sungguhnya, mengganti ketentuan
lama yang dinilai kurang demokratis maupun dikatakan cacat hukum dengan
ketentuan yang baru yang menjadi payung hukum pelaksanaan pe-milu yang akan
datang. Hal terpenting yang mempengaruhi pro-ses pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung adalah, menarik simpati du-nia internasional,
melakukan harmonisasi hu-kum di Indonesia, merespon kebutuhan ma-syarakat
permasalahan seputar Undang-Un-dang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Pre-siden
lebih besar pada aspek pelanggaran da-lam rangkaian Pemilu, kurang sosialisasi
atau memang ketaatan masyarakat pada Undang-Undang masih rendah.
Hal
demikian itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang diamanat-kan
dalam konstitusi kita UUD 1945. Karena itu komitmen yang telah disepakati pada
orde baru hendaknya selalu diusahakan untuk di-patuhi dalam praktek
ketatanegaraan, sehing-ga dengan demikian prinsip “Rule of Law” dapat
benar-benar ditegakkan bukan rule of power yang dipertahankan.
Dengan mengga-risbawahi prinsip Indonesia adalah negara konstitusional,
konstitusi kita UUD 1945 te-lah menempatkan hukum dalam posisi supre-me dan
menentukan dalam sistem ketata-negaraan Indonesia
