Entri yang Diunggulkan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

Belakangan ini, masalah fitnah dan pencemaran nama baik khususnya dalam hukum pidana, banyak menjadi sorotan, baik dalam rumusannya maupun d...

12 Februari 2022

PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU

Keputusan politik umum atau lebih dikenal pemilihan umum (Pemilu) adalah pesta demokrasi yang diadakan  setiap 5 (lima) tahun sekali. Pemilu  itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu penetapan berdasarkan suara yang memilih individu-individu dari utusan-utusan individu di MPR, DPR, DPRD, yang dengan demikian mempunyai tugas untuk bekerja sama dengan otoritas publik untuk memutuskan masalah-masalah legislatif dan penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Undang-Undang Pemilu). Pemilu adalah suatu cara untuk melaksanakan kekuasaan perseorangan yang dilakukan secara lugas, terbuka, tanpa pamrih, tertutup, jujur, dan sungguh-sungguh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun berbagai pelanggaran tidak pernah terlepas dari proses pesta demokrasi tersebut, misalnya kekacauan terhadap Daftar Pemilih Tetap (DPT), banyak warga yang kehilangan haknya. untuk memberikan suara, masalah legislatif tunai, perdagangan formulir pemungutan suara, masalah koordinasi ras politik, dan sebagainya.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut, yang berupa pelanggaran administrasi ataupun pelanggaran pidana,secara Keseluruhan telah melanggar standar umum Pemilu itu sendiri yang secara langsung berpengaruh kepada popularitas, kualitas dan tidak akan jujur, bahkan berpengaruh terhadap hasil keputusannya. Sehingga hal inilah yang menjadi pertanyaan apa komponen atau sistem hukum untuk menentukan dasar hukum untuk menentukan masalah hukum tersebut. Dan hal ini juga yang menjadi perenungan terkait kemungkinan pembentukan Pengadilan Pemilu.

  1. Sejarah Pembentukan Pengadilan

Kesadaran akan keseluruhan perangkat hukum dan norma-norma hukum yang liberal dan demokratis dengan bantuan otoritas kekuasaan negara telah membawa umat manusia kepada kemajuan yang telah menyebabkan keinginan untuk pengaturan organisasi baru yang lebih produktif dan layak untuk perbaikan negara. Seperti yang ditunjukkan Djoko Sutono, menggambarkan adanya empat struktur dan fase kemajuan yang pernah ada. Empat struktur dari satu perspektif dapat dilihat secara kategori, namun dapat juga dilihat sebagai suatu tahap perbaikan sesuai dengan pengalaman yang dapat diverifikasi dari setiap negara dan negara bagian. Salah satunya terkait identifikasi perbaikan dalam sistem pengadilan. Adapun empat struktur atau fase kemajuan tersebut yaitu:

  1. Rechtspraak naar ongeschreven recht, yaitu pengadilan yang menangani ketentuan hukum tidak tertulis. Dalam sejarah Indonesia, disebut sebagai pengadilan adat berdasarkan hukum adat tidak tertulis.

  2. Rechtsspraak Naar preseden, yaitu pengadilan yang bekerja atas dasar presentasi atau atas dasar putusan pengadilan sebelumnya.

  3. Rechtsspraak naar rechtsbooeken, yaitu pengadilan yang mengerjakan rujukan buku-buku hukum dari para ahli hukum.

  4. Rechtsspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tertulis.

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, hal-hal tersebut juga terjadi. Kerangka hukum yang paling lugas melampaui kebiasaan hukum baku yang tidak tertulis (rechtsspraak naar ongeschreven recht). Kemudian, mempengaruhi standar sistem pengadilan di Indonesia. Sama halnya, dalam hal Ide pembentukan pengadilan khusus pemilu. Namun, tentunya dalam perkembangan ide-ide baru terdapat pihak yang mendukung dan menolak (pro-kontra).

  1. Faktor Pendukung Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu

Terkait kemungkinan pembentukan Pengadilan Pemilu mulai muncul pada masa periode pasca perubahan (reformasi), terutama untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat akan kemajuan kesetaraan yang tak terhindarkan pada saat pemilu. Bahkan, ide-ide baru secara konsisten muncul setiap kali kesempatan untuk membentuk pengadilan umum lainnya direncanakan untuk mengajukan upaya persyaratan hukum yang lebih tepat terkait pemilu. Mengenai dasar yang dijadikan referensi dalam kemungkinan pembentukan pengdilan khusus, yaitu:

  1. Keputusan Mahkamah Agung Nomor. 7K/Sip/1967, yang menyebutkan, bahwa “yang berwenang mengadili alat bukti, yang hanya merupakan penilaian atas suatu kenyataan (realitas) adalah pejabat yang ditunjuk dan hakim fakta yang adil".

  2. Pandangan R. Subekti, yang mengemukakan pendapat bahwa "semua bagian pemeriksaan perkara (baik fakta maupun hukum) secara fakta dan bukti dilakukan oleh Pengadilan Negeri”.

  3. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa “Pengadilan Konstitusi ( MK) berwenang memutus perkara pada tingkat pertama dan akhir.”

Berdasarkan ketiga acuan tersebut, maka pengadilan yang berwenang dalam pembuktian secara fakta dan bukti adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Menyikapi hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pedoman kapasitas Mahkamah Agung dalam kekuasaan menengahi pada tingkat pertama dan satu-satunya untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu tergantung pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) d Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, Pengadilan Mahkamah Konstitusi  dalam hal menyelesaikan perkara perselisihan hsil pemilu bukan wewenang  untuk pengujian formil atau materi.

Adapun hal lainnya yang mendorong kemungkinan untuk membangun pengadilan pemilu adalah gagasan pilihan Pengadilan Mahkamah Konstitusi yang 'konklusif dan membatasi' (final dan mengikat). Gagasan tersebut mencerminkan kesimpulan dari kebebasan individu yang diinvestasikan untuk mengambil upaya lain yang sah sejak pilihan tersebut di putuskan di pengadilan.

Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, penjelasan pasal 10 ayat 1 UU MK menegaskan: “putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh”. Konsekuensi dari putusan “Final and Binding” dalam pasal 10 ayat 1 UU MK tersebut, mengandung makna bahwa perlindungan yang diberikan kepada pemohon tidak tuntas, karena begitu mengajakan permohonan putusan akhir yang bersifat final. Sehingga jika dalam suatu kesempatan bukti (novum) baru yang dapat dibuktikan dalam hal apapun setelah putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan, namun tidak dapat melakukan upaya penyelesaiannya lainnya karena putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri bersifat meyakinkan dan membatasi.

 


  1. Faktor Penghambat Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu

Kemungkinan pembentukan pengadilan khusus pemilu akan mendorong tumpang tindih kewenangan. Kewenangan yang mencakup ini menyiratkan kejelasan terkait penentuan jenis pemilu dalam UUD1945 (pemilukada atau pemilu  Legistatif dan presiden dan wakil presiden) serta kejelasan kewenangannya terkait penentuan pidana, perdata, atau tata usaha Negara, sehingga Ketidak pastian ini nantinya akan memicu kerentanan hukum berupa ketidak pastian hukum. Hal ini dapat menyebabkan warga merasa bahwa hak-hak istimewa yang dilindungi telah diabaikan menjadi bingung dengan sistem hukum yang dapat diambil jika nantinya  masalah semacam ini terjadi. Kerentanan hukum ini sebenarnya tidak sesuai dengan gagasan hukum dan ketertiban yang dianut oleh Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD. RI 1945.

Sama halnya seperti pendapat yang dikemukakan oleh Shidarta yang dikutip Menurut Van Apeldoorn, bahwa kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim. Oleh karena itu shidarta mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

  1. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena kekuasaan negara.

  2. Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.

  3. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.

  4. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan.

  5. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Berdasarkan faktor tersebut, maka timbul faktor lainnya berupa pembekakan APBN karena banyak aspek-aspek yang harus di siapkan, dan tentunya itu memerlukan biaya tidak sedikit akhirnya terjadi pembenkakan pada Anggaran Perbelanjaan Badan Negara. sedangkan Negara harus berhati-hati dalam mengelola keuangan secara tertib dan ekonomis sesuai ketentuan peraturn perundang-undangan.

 KESIMPULAN

Kesadaran akan keseluruhan perangkat hukum dan norma-norma hukum yang liberal dan demokratis dengan bantuan otoritas kekuasaan negara telah membawa umat manusia kepada kemajuan yang telah menyebabkan keinginan untuk membawa umat manusia menuju kemajuan yang telah mendorong kerinduan akan permintaan otoritatif lain yang lebih berguna dan layak untuk kemajuan negara. .Namun dapat disimpulkan bahwa dalam penyempurnaan gagasan terobosan ini ada komponen pendukung dan penghambat,

Adapun yang mendukung untuk pembentukan  pengadilan khusus pemilu yaitu keinginan untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu yang lebih efektif, dan gagasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perkara pemilu yang final dan mengikat (terakhir dan membatasi). Sedangkan faktor penghambatnya adalah akan mendorong tumpang tindih kewenangan dan faktor lainnya berupa komponen melalui pembatasan keuangan negara karena banyak aspek-aspek yang harus di siapkan untuk  menyoroti suatu lembaga baru yang berfokus pada penyelesaian perkara pemilu.

SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan diatas saran yang disampaikan antara lain:

  1. Mahkamah Konstitusi harus mengakomodir dalam penyelesaian perkara pemilu agar tidak terjadi kemungkinan keinginan untuk membentuk pengadilan baru yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan.

  2. Pemerintah harus mendukung perkembangan dalam penyelesaian perkara pemilu pada pengadilan Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi kemungkinan keinginan untuk membentuk pengadilan baru yang menyebabkan pembenkakan pengeluaran negara.

DAFTAR PUSTAKA

H.R. Sri Soemantri M. Hak Uji Material Di Indonesia, Bandung Alumni, 1997. 


Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Putih Hitam Pengadilan Khusus, Jakarta, Komisi Yudisial. 2013.


Mukthie Fadjar, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Jakarta, , Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.1. 2009.


Nunuk Nuswardani, Problem Konstitusional Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Prmilukada) Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jurnal Konstitusi, Vol.1 No.1. 2010.


Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Revika Aditama, Bandung, 2006.


Suparman Marzuki,  Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Jakarta, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, cet. Pertama,  2015.


Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010.


Redaksi Artikel Ilmiah

Hukumpress, 12 Februari 2022


download file PDF klik disini

download File DOC klik disini