Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
selain mengenai batas umur terendah untuk melangsungkan perkawinan juga diatur
mengenai Dispensasi Umur Perkawinan. Dispensasi umur perkawinan merupakan suatu
kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada calon suami istri yang belum
mencapai batas umur terendah dalam melakukan perkawinan. Pada ketentuan Dispensasi
umur perkawinan inilah yang sering terjadi penyimpangan (penyimpangan
perkawinan).
Dispensasi umur perkawinan tersebut diatur dalam dalam Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan
yang menyebutkan, bahwa perkawinan dianggap substansial jika
dilakukan menurut hukum perkawinan setiap agama dan keyakinan dan dicatat oleh
pejabat yang berwenang yang ditunjukkan dengan undang-undang yang bersangkutan.
Alasan sahnya perkawinan yang menjadi tolak ukur dalam hukum positif Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan).
Pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan, selain batas minimal usia perkawinan, juga diatur hal Dispensasi Usia Perkawinan. Perjanjian
usia perkawinan adalah suatu kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada
pasangan suami istri yang akan segera menikah yang belum mencapai batas usia
paling minimal untuk menikah. Dalam pengaturan pengaturan usia perkawinan ini,
sering terjadi penyimpangan (penyimpangan perkawinan).
Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, bahwa perkawinan
boleh dilakukan jika laki-laki sudah sampai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
perempuan sudah sampai umur 16 (enam belas) tahun. Kemudian pada ayat (2) menyatakan, bahwa kentuan
terhadap batas umur laki-laki dan perempuan, dapat meminta dispensasi dari
Pengadilan untuk batas umur anak dengan rujukan dari orang tua kedua belah pihak.
Faktor
pendorong penyimpangan perkawinan
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda
yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu:[1]
a.
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi biasanya terjadi sebagai akibat dari kondisi keluarga
yang hidup dalam kekurangan, untuk meringankan beban wali, anak perempuan
mereka dijodohkan dengan orang yang dianggap kompeten (lebih mampu).
b.
Faktor pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan dan informasi bagi wali, anak-anak,
dan lingkungan sekitar, membuat kecenderungan untuk mengawinkan anak-anak
mereka di bawah umur
c.
Faktor orang tua
Wali ditekankan bahwa mereka akan dipermalukan dengan alasan gadis
kecil mereka berkencan dengan pria yang menyebabkan terjadinya sek bebas,
sehingga dia segera menikahi anaknya.
d.
Faktor media massa
Keterbukaan seks yang tiada henti dalam media masa yang luas
membuat remaja saat ini lebih toleran terhadap seks.
e.
Faktor adat
Perkawinan di usia muda terjadi karena wali khawatir terhadap
kemungkinan anaknya akan disebut perawan tua
oleh masyarakat sehingga mereka segera menikahinya.
Dampak
dispensasi perkawinan anak di bawah umur
Secara
umum, penyimpangan yang terjadi dari pengaturan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
tersebut adalah mendukung ruang lingkup terjadinya perkawinan anak di
bawah umur terutama dengan menggunakan frasa dispensasi yang lebih luas. Akibatnya,
ada banyak peristiwa hubungan di bawah umur (penyimpangan) yang berdampak, secara lebih spesifik yaitu:
a.
Dampak kemanfaatan bagi masyarakat
Sebagaimana
penjelasan tentang berbagai faktor yang menjadi penyebab diajukannya dispensasi
umur perkawinan, maka dapat kita lihat bahwa alasan orang tua sebagai pihak
pemohon adalah karena kondisi yang sudah sangat mendesak. Orang tua sudah tidak
bisa mengatasi tingkah laku anak- anaknya. Sehingga dalam kasus dispensasi umur
perkawinan, pemberian dispensasi umur perkawinan dalam kondisi yang mendesak
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sebagaimana telah dijelaskan terkait variabel yang mendorong diajukannya disensasi umur pernikahan, kita dapat melihat bahwa alasan wali karena kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana wali tidak dapat mengatasi lagi perilaku anak-anak mereka. Sehingga pemberian dispensasi oleh pengadilan dalam keadaan yang memprihatinkan dapat memberikan kemanfaatan.[2] Misalnya dalam hal Wali yang anak perempuannya telah hamil sebelum menikah atau wali yang anaknya menghamili wanita yang bukan pasangannya, sedangkan usianya masih di bawah usia yang ditentukan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkawinan, maka keluarga tersebut akan mendapat tekanan dari daerah setempat sebagai pengaduan dan penghindaran. karena dianggap tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Anak-anak yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan menyebabkan kehamilan juga akan mengalami hal yang sama di mata publik. Meskipun rasa malu yang telah dilakukan tidak dapat dihapuskan menurut daerah setempat, yang lebih penting adalah bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh para wali ini akan membuat hubungan antara anak-anak mereka lebih jelas dan lebih nyata menurut hukum.
b.
Dampak terhadap Undang-Undang
selanjutnya
Ketentuan Dispensasi usia perkawinan usia muda Undang-Undang
Perkawinan mempengaruhi Pasal 26 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, di mana dinyatakan bahwa wali berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memelihara, mengasuh, mendidik, dan mengamankan anak serta mencegah
perkawinan pada saat anak-anak.
c.
Dampak biologis
Dampak biologisnya adalah membahayakan kehidupan anak, dimana anak-anak
secara alami organ-organ regenerasi mereka masih dalam masa pertumbuhan
sehingga mereka tidak siap untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis,
terutama jika mereka hamil dan mengandung, itu akan menyebabkan cedera, robekan
luas dan kontaminasi yang akan membahayakan organ regenerative bahkan
membahayakan kehidupan anak itu sendiri.sedangkan Negara berkewajiban menjaga
kehidupan anak bangsa demi pertumbuhan yang lebih baik.
d.
Dampak terhadap hak anak
Ikatan pernikahan akan melepaskan hak anak untuk belajar (wajar 9
tahun), pilihan untuk bermain dan berbagai hak keistimewaan bawaan yang ada
pada anak lainnya.
e.
Dampak perilaku seksual menyimpang
Berdampak pada prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang
gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun
dikemas dengan perkawinan menjadikan perbuatan tersebut menjadi legal. Apabila
tidak diambil tindakan hukum akan menyebabkan kejahatan baru nantinya.
Upaya
Mencegah Terjadinya penyimpangan Perkawinan
Pasal 288 KUHP telah menyatakan bahwa setiap orang dalam
perkawinan melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang dikenal atau
harus dianggap bahwa itu belum merupakan kesempatan yang ideal baginya untuk
menikah, jika itu menyebabkan cedera serius, dia diancam dengan hukuman empat
tahun, jika itu menyebabkan cedera serius, dia dijatuhi hukuman penjara paling
lama lima tahun. delapan tahun dan jika mengakibatkan kematian, hukumannya
adalah hukuman paling berat dua belas tahun.
Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi laju perkawinan di
bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jika ada
pelanggaran batas umur pernikahan. Namun tentunya hal ini harus ada protes dari
salah satu keluarga atau otoritas administrasi pernikahan. Jika pasangan dan
keluarga tidak memprotes, kegiatan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak
mendaftarkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil (KUA). Namun, upaya untuk
mencegah akan lebih efektif jika penduduk setempat mengambil peran dalam upaya
untuk mencegah pernikahan anak-anak. Upaya kerjasama antara otoritas publik dan
daerah adalah kemajuan terbaik untuk mencegah atau membatasi pernikahan anak.
Kontrol sosial daerah sangat diharapkan untuk hal ini, agar kelak anak bangsa
ini memiliki masa depan yang cerah untuk membangun negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud M.D,Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010.
Redaksi Artikel Ilmiah
Hukumpress, 8 Februari 2022
Download file PDF klik disini
[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bndung, Sumur Bandung, 1981. Hlm. 5
[2]Tegus
Surya Putra, Dispensasi Umur Perkawinan (Studi Implementasi Pasal 7 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Kota Malang), Artikel,
Malang, Universitas Brwijaya, 2013, Hlm. 10.