Entri yang Diunggulkan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

Belakangan ini, masalah fitnah dan pencemaran nama baik khususnya dalam hukum pidana, banyak menjadi sorotan, baik dalam rumusannya maupun d...

06 Juli 2017

PENYIMPANGAN PERKAWINAN

            Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Adapun dasar  hukum perkawinan yang menjadi patokan dalam hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( Undang-Undang Perkawinan).


Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, selain mengenai batas umur terendah untuk melangsungkan perkawinan juga diatur mengenai Dispensasi Umur Perkawinan. Dispensasi umur perkawinan merupakan suatu kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada calon suami istri yang belum mencapai batas umur terendah dalam melakukan perkawinan. Pada ketentuan Dispensasi umur perkawinan inilah yang sering terjadi penyimpangan (penyimpangan perkawinan).


Dispensasi umur perkawinan  tersebut diatur dalam  dalam Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan, bahwa perkawinan dianggap substansial jika dilakukan menurut hukum perkawinan setiap agama dan keyakinan dan dicatat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjukkan dengan undang-undang yang bersangkutan. Alasan sahnya perkawinan yang menjadi tolak ukur dalam hukum positif Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan).


Pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, selain batas minimal usia perkawinan, juga diatur  hal Dispensasi Usia Perkawinan. Perjanjian usia perkawinan adalah suatu kelonggaran yang diberikan oleh pengadilan kepada pasangan suami istri yang akan segera menikah yang belum mencapai batas usia paling minimal untuk menikah. Dalam pengaturan pengaturan usia perkawinan ini, sering terjadi penyimpangan (penyimpangan perkawinan).


Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, bahwa perkawinan boleh dilakukan jika laki-laki sudah sampai umur 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan sudah sampai umur 16 (enam belas) tahun.  Kemudian pada ayat (2) menyatakan, bahwa kentuan terhadap batas umur laki-laki dan perempuan, dapat meminta dispensasi dari Pengadilan untuk batas umur anak dengan rujukan dari orang tua kedua belah pihak.

 

Faktor pendorong penyimpangan perkawinan

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu:[1]


a.       Faktor ekonomi

Faktor ekonomi biasanya terjadi sebagai akibat dari kondisi keluarga yang hidup dalam kekurangan, untuk meringankan beban wali, anak perempuan mereka dijodohkan dengan orang yang dianggap kompeten (lebih mampu).

b.      Faktor pendidikan


Rendahnya tingkat pendidikan dan informasi bagi wali, anak-anak, dan lingkungan sekitar, membuat kecenderungan untuk mengawinkan anak-anak mereka di bawah umur

c.       Faktor orang tua

Wali ditekankan bahwa mereka akan dipermalukan dengan alasan gadis kecil mereka berkencan dengan pria yang menyebabkan terjadinya sek bebas, sehingga dia segera menikahi anaknya.


d.      Faktor media massa

Keterbukaan seks yang tiada henti dalam media masa yang luas membuat remaja saat ini lebih toleran terhadap seks.


e.       Faktor adat

Perkawinan di usia muda terjadi karena wali khawatir terhadap kemungkinan anaknya akan disebut perawan tua  oleh masyarakat sehingga mereka segera menikahinya.

 

Dampak dispensasi perkawinan anak di bawah umur

Secara umum, penyimpangan yang terjadi dari pengaturan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan  tersebut adalah mendukung ruang lingkup terjadinya perkawinan anak di bawah umur terutama dengan menggunakan frasa dispensasi yang lebih luas. Akibatnya, ada banyak peristiwa hubungan di bawah umur (penyimpangan) yang berdampak,  secara lebih spesifik yaitu:


a.       Dampak kemanfaatan bagi masyarakat

Sebagaimana penjelasan tentang berbagai faktor yang menjadi penyebab diajukannya dispensasi umur perkawinan, maka dapat kita lihat bahwa alasan orang tua sebagai pihak pemohon adalah karena kondisi yang sudah sangat mendesak. Orang tua sudah tidak bisa mengatasi tingkah laku anak- anaknya. Sehingga dalam kasus dispensasi umur perkawinan, pemberian dispensasi umur perkawinan dalam kondisi yang mendesak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Sebagaimana telah dijelaskan terkait variabel yang mendorong diajukannya disensasi umur pernikahan, kita dapat melihat bahwa alasan wali karena kondisi yang sangat memprihatinkan. Dimana wali tidak dapat mengatasi lagi perilaku anak-anak mereka. Sehingga pemberian dispensasi oleh pengadilan dalam keadaan  yang memprihatinkan dapat memberikan kemanfaatan.[2] Misalnya dalam hal Wali yang anak perempuannya telah hamil sebelum menikah atau wali yang anaknya menghamili wanita yang bukan pasangannya, sedangkan usianya masih di bawah usia yang ditentukan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkawinan, maka keluarga tersebut akan mendapat tekanan dari daerah setempat sebagai pengaduan dan penghindaran. karena dianggap tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Anak-anak yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan menyebabkan kehamilan juga akan mengalami hal yang sama di mata publik. Meskipun rasa malu yang telah dilakukan tidak dapat dihapuskan menurut daerah setempat, yang lebih penting adalah bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh para wali ini akan membuat hubungan antara anak-anak mereka lebih jelas dan lebih nyata menurut hukum.

b.      Dampak terhadap Undang-Undang selanjutnya

Ketentuan Dispensasi usia perkawinan usia muda Undang-Undang Perkawinan mempengaruhi Pasal 26 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana dinyatakan bahwa wali berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara, mengasuh, mendidik, dan mengamankan anak serta mencegah perkawinan pada saat anak-anak.


c.       Dampak biologis

Dampak biologisnya adalah membahayakan kehidupan anak, dimana anak-anak secara alami organ-organ regenerasi mereka masih dalam masa pertumbuhan sehingga mereka tidak siap untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis, terutama jika mereka hamil dan mengandung, itu akan menyebabkan cedera, robekan luas dan kontaminasi yang akan membahayakan organ regenerative bahkan membahayakan kehidupan anak itu sendiri.sedangkan Negara berkewajiban menjaga kehidupan anak bangsa demi pertumbuhan yang lebih baik.


d.      Dampak terhadap hak anak

Ikatan pernikahan akan melepaskan hak anak untuk belajar (wajar 9 tahun), pilihan untuk bermain dan berbagai hak keistimewaan bawaan yang ada pada anak lainnya.


e.       Dampak perilaku seksual menyimpang

Berdampak pada prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan menjadikan perbuatan tersebut menjadi legal. Apabila tidak diambil tindakan hukum akan menyebabkan kejahatan baru nantinya.

 

Upaya Mencegah Terjadinya penyimpangan Perkawinan

Pasal 288 KUHP telah menyatakan bahwa setiap orang dalam perkawinan melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang dikenal atau harus dianggap bahwa itu belum merupakan kesempatan yang ideal baginya untuk menikah, jika itu menyebabkan cedera serius, dia diancam dengan hukuman empat tahun, jika itu menyebabkan cedera serius, dia dijatuhi hukuman penjara paling lama lima tahun. delapan tahun dan jika mengakibatkan kematian, hukumannya adalah hukuman paling berat dua belas tahun.


Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi laju perkawinan di bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jika ada pelanggaran batas umur pernikahan. Namun tentunya hal ini harus ada protes dari salah satu keluarga atau otoritas administrasi pernikahan. Jika pasangan dan keluarga tidak memprotes, kegiatan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mendaftarkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil (KUA). Namun, upaya untuk mencegah akan lebih efektif jika penduduk setempat mengambil peran dalam upaya untuk mencegah pernikahan anak-anak. Upaya kerjasama antara otoritas publik dan daerah adalah kemajuan terbaik untuk mencegah atau membatasi pernikahan anak. Kontrol sosial daerah sangat diharapkan untuk hal ini, agar kelak anak bangsa ini memiliki masa depan yang cerah untuk membangun negeri.

  

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Mahfud M.D,Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bndung, Sumur Bandung, 1981.

 Artikel/intenet/Jurnal

 Tegus Surya Putra, Dispensasi Umur Perkawinan (Studi Implementasi Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Kota Malang), Artikel, Malang, Universitas Brwijaya, 2013.

 Malik, Membaca Kembali Teori Hukum Pembangunan, Artikel Digest Epistema (Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-Sosial), Epistema Institute Volume 2 Tahun 2012.

 Peraturan Perundang Undangan

 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,


                                                                                                Redaksi Artikel Ilmiah

Hukumpress, 8 Februari 2022

Download file PDF klik disini



[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bndung, Sumur Bandung, 1981. Hlm. 5

[2]Tegus Surya Putra, Dispensasi Umur Perkawinan (Studi Implementasi Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Kota Malang), Artikel, Malang, Universitas Brwijaya, 2013, Hlm. 10.