PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BPK RI telah
memiliki Rencana Strategis (Renstra) 2011 – 2015 yang telah dijabarkan ke dalam
suatu dokumen Rencana Implementasi RENSTRA. Untuk dapat memonitor pencapaian
RENSTRA BPK RI tersebut, telah dikembangkan suatu Sistem Manajemen Kinerja
(SIMAK) BPK RI dan telah mulai diimplementasikan pada tahun 2008. SIMAK BPK RI
merupakan suatu aplikasi intranet berbasis web yang bertujuan untuk mewujudkan
BPK RI menjadi suatu organisasi yang fokus terhadap strategi (strategic focused
organization). SIMAK BPK RI digunakan sebagai instrumen untuk memonitor,
mengukur, menilai kinerja seluruh satuan kerja (Eselon I dan II) di lungkungan
BPK RI dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Implementasi SIMAK BPK
RI diharapkan dapat mewujudkan perubahan di lingkungan BPK RI melalui: “New
BPK: Leading by Example”.[1]
1.2 Rumusan Masalah
1.
Kelemahan Badan Penyelidik Keuangan (BPK) dalam
sistem pengendalian intern (SPI)
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan
berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan
berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal
23 (5) UUD Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi
Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan
RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan
UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan
ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama
Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No.
1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan
Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif.
Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN
No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6
Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Untuk mengganti PERPU
tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa
Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan
penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan
Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan
Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI
dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara.
Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru
direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002
yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang
Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara
lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya
lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih
dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Untuk lebih
memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945
telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal
23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu
bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh
ayat.[2]
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat
Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
§
UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
§
UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
§
UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
2.2 Tugas dan Kewenangan
A.
Tugas BPK
BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.[3]
B.
Kewenangan BPK
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:[4]
- menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;
- meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
- melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
- menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
- menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
- menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
- menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;
- membina jabatan fungsional Pemeriksa;
- memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
- memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
2.3 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Standar Pemeriksaan merupakan patokan bagi para pemeriksa dalam melakukan
tugas pemeriksaannya. Seiring dengan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika
masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan
akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah menuntut BPK menyempurnakan standar
audit pemerintahan (SAP) 1995. SAP 1995 dirasa tidak dapat memenuhi tuntutan
dinamika masa kini. Terlebih lagi sejak adanya reformasi konstitusi di bidang
pemeriksaan maka untuk memenuhi amanat Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan
Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, BPK harus menyusun standar pemeriksaan yang dapat menampung
hal tersebut. Di awal tahun 2007 ini, BPK telah berhasil menyelesaikan penyusunan
standar pemeriksaan yang diberi nama 'Standar Pemeriksaan Keuangan Negara' atau
disingkat dengan 'SPKN'.
SPKN ini ditetapkan dengan peraturan BPK Nomor 01 Tahun 2007 sebagaimana
amanat UU yang ada. Dengan demikian, sejak ditetapkannya Peraturan BPK ini dan
dimuatnya dalam Lembaran Negara, SPKN ini akan mengikat BPK maupun pihak lain
yang melaksanakan pemeriksaan keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Inilah
tonggak sejarah dimulainya reformasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan BPK
setelah 60 tahun pelaksanaan tugas konstitusionalnya. Dengan demikian,
diharapkan hasil pemeriksaan BPK dapat lebih berkualitas yaitu memberikan nilai
tambah yang positif bagi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat
Indonesia seluruhnya.
Penyusunan SPKN ini telah melalui proses sebagaimana diamanatkan dalam
undang-undang maupun dalam kelaziman penyusunan standar profesi. Hal ini
tidaklah mudah, oleh karenanya, SPKN ini akan selalu dipantau perkembangannya
dan akan selalu dimutakhirkan agar selalu sesuai dengan dinamika yang terjadi
di masyarakat.
Hal yang terpenting dari sebuah proses penyusunan SPKN bukanlah terletak
pada kualitas SPKN-nya melainkan terletak pada kesuksesan dalam penerapannya.
Oleh karenanya segala kegiatan yang dapat memungkinkan terlaksananya SPKN ini
secara benar dan konsekuen harus dilakukan. Inilah tugas kita bersama.
2.4 Monitoring
dan Evaluasi Pencapaian Rencana Strategis
Untuk mengukur keberhasilan Renstra Tahun 2011-2015, BPK mengaplikasikan
Sistem Manajemen Kinerja (SIMAK) berbasis Balance Scorecard (BSC) yang dapat secara online memonitor, mengevaluasi, dan
mengukur capaian kinerja BPK secara keseluruhan (BPK-Wide). Monitoring atas pengukuran kinerja tersebut didukung oleh
pemantauan atas realisasi kegiatan dan output melalui mekanisme laporan bulanan
dengan memperhatikan kesesuaian terhadap Rencana Kegiatan Pemeriksaan
(RKP)/Rencana Kegiatan Setjen dan Penunjang (RKSP).
Untuk mendukung pemantauan pelaksanaan kegiatan Inisiatif Strategis (IS)
telah digunakan aplikasi Sistem Manajemen Inisiatif Strategis (SIMANIS). Hasil
Pemantauan terhadap perkembangan pelaksanaan dan penyelesaian IS beserta
kegiatan-kegiatan yang tercantum di dalamnya dilakukan secara triwulanan dan
dituangkan dalam Laporan Monitoring IS. Pemantauan tersebut bertujuan untuk:
- memetakan perkembangan pelaksanaan dan pencapaian seluruh IS dalam rangka pelaksanaan evaluasi pelaksanaan Renstra BPK 2011-2015;
- menyediakan informasi terkait perkembangan pelaksanaan dan penyelesaian IS kepada pimpinan BPK, seluruh satker pengelola IS, dan seluruh pelaksana dan pegawai BPK, termasuk informasi mengenai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan IS sehingga dapat diidentifikasikan tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dan informasi mengenai best practice pengelolaan IS yang dapat di-share kepada pengelola IS yang lain; dan
- meningkatkan motivasi dan peran serta seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan IS sehingga seluruh kegiatan IS dapat dilaksanakan dengan efektif dan tepat waktu.
Monitoring dan Evaluasi atas pencapaian Renstra meliputi anggaran,
output, indikator kinerja utama, dan inisiatif strategis tersebut secara
komprehensif dituangkan ke dalam Laporan Triwulanan Kegiatan Pelaksana BPK yang
disampaikan kepada Pimpinan BPK.[5]
2.5 Belum maksimalnya hasil pemeriksaan
yang dilakukan BPK
“Mantan Auditor Akui BPK Memiliki Kelemahan”. Komisi XI DPR melanjutkan
proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) calon anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Senin (27/2). Maju sebagai calon kali ini adalah
Ivone Carolina Nalley. Mantan auditor BPK ini menyatakan, peran anggota BPK
belum maksimal dalam melakukan audit. Hal ini menyebabkan kualitas temuan
pemeriksaan belum bermakna dalam upaya penyelamatan keuangan negara.
Ivone mengatakan, banyak analisa BPK yang masih keliru dalam melakukan
pemeriksaan. Hal itu bisa dilihat dari hasil pemeriksaan yang dilakukan lembaga
itu belum maksimal. Bahkan, dia menilai audit standar kinerja auditor BPK masih
kalah dengan yang dimiliki Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Dia
menyarankan bagian penelitian dan pengembangan (litbang) atau pusat pendidikan
dan pelatihan (pusdiklat) BPK bisa berperan dengan memberikan pendidikan
melalui materi yang lebih jelas agar mendukung pekerjaan auditor. Selain itu,
Ivone berpendapat seharusnya BPK memiliki tanggung jawab terhadap banyaknya
temuan audit yang tidak ditindaklanjuti. Dalam hal ini, BPK mesti mengadakan
sebuah mekanisme koreksi internal. “Temuan audit BPK banyak yang disampaikan ke
DPR tiap enam bulan, tapi banyak yang tidak ditindaklanjuti,” ujarnya.
Ivone juga menyinggung masalah suap yang terkadang menggoda auditor BPK
dalam melakukan tugasnya. Menurutnya, sekecil apa pun pemberian dari pihak yang
diperiksa tidak patut diterima oleh auditor. Dia khawatir hal itu bisa
mengganggu independensi BPK itu sendiri. Sekadar ingatan, pada 22 Juni tahun
2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua auditor BPK, yaitu Suharto
dan Enang Hernawan. Mereka diduga melanggar pasal 12 huruf a dan atau pasal 5
ayat (2) atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada 8 november 2010, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis
keduanya dengan hukuman empat tahun penjara. Selain hukuman penjara, kedua
terdakwa juga wajib membayar denda Rp200 juta. Bila tidak membayar, maka
hukuman diganti dengan tiga bulan kurungan. Hukuman dijatuhkan karena kedua
terdakwa dinilai terbukti menerima suap dari Pemerintah Kota Bekasi. Dalam uji
kepatutan sebelumnya, Auditor Utama KN II BPK, Syafri Adnan Baharuddin, membuka
kelemahan lembaganya. Dia mengakui pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK saat
ini masih memiliki beberapa kelemahan dari aspek perencanaan strategis maupun
pelaksanaan. “Pada akhirnya berdampak pada kualitas hasil pemeriksaan kinerja
yang belum sesuai dengan standar pemeriksaan kinerja maupun harapan serta
kebutuhan para pemilik kepentingan,” tuturnya.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas),
Tubagus Haryono, mendadak mengundurkan diri dari bursa calon anggota BPK. Wakil
Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menjelaskan, pengunduran diri tersebut
dikarenakan yang bersangkutan belum dua tahun meninggalkan posisinya sebagai
kuasa pengguna anggaran. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 13 butir j
Undang-Undang tentang BPK, yakni anggota BPK minimal telah dua tahun
meninggalkan posisinya dari lingkungan pengelola keuangan negara. “Karena Pak
Tubagus mengundurkan diri, maka calon yang diuji Komisi XI tinggal 34 orang,”
kata Harry. Sebelumnya, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW),
Iskandar Sitorus, mengatakan dari 35 orang calon anggota BPK, beberapa
diantaranya masih aktif menjabat di lingkungan lembaga keuangan negara.
Menurutnya, rekomendasi DPD itu melanggar Pasal 13 butir j UU BPK. Dia meminta
Komisi XI berhati-hati mencermatinya agar DPR tidak terjebak pada perbuatan melawan
hukum di kemudian hari.
Sementara itu, anggota Komisi XI Nurdin Tampbolon mengingatkan agar
rekan-rekannya memilih calon yang benar-benar memiliki integritas dan
independen. Hal ini penting untuk menjaga profesionalitas, moral, dan etika
dalam melaksanakan tugasnya ke depan. “Para calon harus terhindar dari
kepentingan apa pun,” tandasnya.[6]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) perlu meningkatkan proporsi audit
kinerja atas seluruh jumlah pemeriksaan yang dilaksanakannya. Hal ini merupakan
salah satu rekomendasi dalam laporan hasil peer review BPK
RI tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Negara Polandia (Najwyzsza
Izba Kontroli/NIK). Selain itu, hasil peer review juga
merekomendasikan antara lain meningkatkan akses publik atas laporan hasil
pemeriksaan BPK RI, meningkatkan proporsi jumlah auditor dibandingkan non
auditor, meningkatkan kualitas audit atas teknologi informasi dalam pemeriksaan
kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, serta meningkatkan mutu laporan
dengan pemerolehan keyakinan mutu sebelum laporan diterbitkan.
Penyerahan hasil peer review dilakukan
oleh President of NIK Polandia, Mr. Krzysztof Kwiatkowski kepada Ketua BPK RI, Hadi
Poernomo, yang
didampingi oleh Wakil Ketua BPK RI, Hasan Bisri,
para Anggota BPK, serta tim reviu dari NIK. Kegiatan yang berlangsung di Kantor
Pusat BPK RI pada 16 April 2014 ini juga dihadiri oleh para pejabat eselon I di
lingkungan BPK RI.
Peer
review yang dilakukan pada tahun 2014 ini merupakan yang ketiga kalinya
dilakukan oleh Badan Pemeriksa negara lain. Sebelumnya, pada 2004 dilakukan
peer review oleh Badan Pemeriksa New Zealand, tahun 2009 dilakukan oleh ARK (Badan
Pemeriksa Belanda), dan pada 2014 ini dilakukan oleh NIK Polandia.
Proses kegiatan peer review berlangsung dimulai pada November 2013
dengan kehadiran tim peer review yang diketuai oleh Jacek Jezierskin untuk melakukan reviu pendahuluan. Selanjutnya pada Januari 2014
dilakukan reviu terinci dengan melakukan diskusi dengan tim pemeriksa BPK RI di
Kantor Pusat dan Kantor Perwakilan BPK RI Provinsi Kalimantan Timur. Tim
pereviu juga melakukan konfirmasi ke stakeholders BPK, yaitu DPR RI dengan
BAKN, DPD RI dengan Komite 4, KPK, Kementerian Keuangan, serta media massa
cetak dan elektronik. Hal ini dilakukan untuk mendapat informasi tentang
kinerja BPK RI. Selanjutnya pada akhir Februari 2014, BPK RI menerima draft
laporan, serta pada 26 Maret 2014 BPK RI menyampaikan tanggapan kepada NIK.
Pada peer review kali ini, NIK Polandia memberikan 34
rekomendasi. “Rekomendasi tersebut telah didiskusikan oleh BPK RI sehingga BPK
RI optimis 34 rekomendasi tersebut dapat ditindaklanjuti dengan baik,” jelas
Inspektur Utama BPK RI Mahendro Sumardjo. Dari laporan peer review terdapat
sisi positif, yaitu BPK RI mempunyai SDM yang relatif masih muda, mempunyai IT
yang sangat kuat dalam melakukan proses bisnisnya, hasil pemeriksaan BPK RI
sangat diapresiasi oleh lembaga perwakilan, hasil pemeriksaan forensik BPK RI
ditindaklanjuti oleh penegak hukum, serta hasil pemeriksaan BPK RI
ditindaklanjuti dengan efisien dan efektif.
President NIK
Polandia mengatakan, BPK RI mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan tugasnya
secara efektif. “BPK RI memiliki prosedur yang teliti dalam menindaklanjuti
rekomendasi. Prosedur itu membantu mendisiplinkan entitas yang diaudit dan juga
membantu dalam menggunakan tenaga kerja BPK RI secara efektif. BPK RI juga
sangat disiplin, menghormati prosedur, dan memastikan bahwa pemeriksaan
dilakukan secara benar. Hal ini penting terutama di negara besar dengan opini
publik yang sensitif mengenai ketidakbenaran di sektor publik,” tutur Mr.
Krzysztof Kwiatkowski.
Ketua BPK RI
mengatakan, rekomendasi dari telaahan NIK Polandia nantinya, akan dilakukan
perbaikan dan ditindaklanjuti. “34 rekomendasi itu pasti akan kami tindak
lanjuti dan dilaporkan ke NIK Polandia,” tegasnya.[7]
