Perkawinan di dalam fiqh bahasa arab dikatakan dengan dua kata,
yaitu nikah dan zawaj. Keduanya sering dipakai orang Arab dalam
kehidupan sehari-harinya mempunyai makna “bergabung” (dhonu), “hubungan
kelamin” (wat’i) dan “akad” (akad). Dalam makna yang lebih luas
di Indonesia , perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin tanpa adanya
paksaan untuk melanjutkan sebuah hubungan ke jenjang yang lebih serius dan
mengikat.
Ketentuan hukum perkawinan secara umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, selain itu terdapat keputusan menteri agama RI No.154/1991 tentang
pelaksanaan intruksi presiden RI No.1/1991 tanggal 10 Juni 1991 mengenai
kompilasi hukum Islam (keputusan menteri agama RI No.154/1991).
Dasar-dasar Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
dasar-dasar perkawinan menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut:
- Pasal 5
Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, dan pencatatan
perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah.
2. Pasal 6
Untuk memenuhi ketentuan dalam terjaminnya ketertiban perkawinan , setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dan Perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
3. Pasal 7
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah namun dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat
nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan:
b. hilangnya Akta Nikah;
c. adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d. adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
4. Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan
dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan
perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
5. Pasal 9
Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena
hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. Dalam
hal surat bukti yang dimaksud dala ayat tidak dapat diperoleh, maka dapat
diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
6. Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Syarat-syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah:
1. Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena
perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5)
yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena
hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
2. Syarat Khusus
Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, calon mempelai
laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non),
absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan
ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya
tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon
mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri
dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah
mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas
kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan. Harus ada wali
nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada
kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak
pakai wali, nikahnya tetap sah.
Larangan-larangan Perkawinan
Menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Pasal 39. Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, seperti seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya, karena pertalian kerabat semenda, seperti dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya, seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya, seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu "qobla al dukhul", seorang wanita bekas isteri keturunannya, karena pertalian sesusuan, seperti dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah, dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
2. Pasal 40, larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, karena seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, karena seorang wanita yang tidak beragama islam.
3. Pasal 41, Larangan melangsungkan perkawinan seorang pria dalam hal memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya seperti saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya, atau wanita dengan bibinya atau kemenakannya. selanjutnya seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dalam masa iddah.
4. Pasal 42, larangan seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
5. Pasal 43, larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena bekas isterinya yang ditalak tiga kali dan/atau bekas isterinya yang dili`an.
6. Pasal 44, larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan terdiri dari 19
bab, dan terbagi menjadi 170 pasal. Mengenai
definisi perkawinan menurut Kompilasi
hukum Islam disebutkan dalam Pasal 2 keputusan menteri agama
RI No.154/1991, yaitu perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah untuk mencapai tertib masyarakat yang dicita citakan untuk
melakukan perkawinan sesuai ajaran Agama Islam. Sebagaimana diketahui Kompilasi hukum Islam terbilang
sebagai salah satu produk hukum di Indonesia yang membawa konsep konsep hukum
islam di tengah tengah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Mahkamah
agung, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan
Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya, Jakarta,
Perpustakaan Nasional RI, 2011.
Republik
Indonesia, intruksi presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam
Redaksi Artikel Ilmiah
Hukumpress, 8 Februari 2022