Entri yang Diunggulkan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK

Belakangan ini, masalah fitnah dan pencemaran nama baik khususnya dalam hukum pidana, banyak menjadi sorotan, baik dalam rumusannya maupun d...

20 Oktober 2016

KONSEP PERKAWINAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

        Perkawinan di dalam fiqh bahasa arab dikatakan dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Keduanya sering dipakai orang Arab dalam kehidupan sehari-harinya mempunyai makna “bergabung” (dhonu), “hubungan kelamin” (wat’i) dan “akad” (akad). Dalam makna yang lebih luas di Indonesia , perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin tanpa adanya paksaan untuk melanjutkan sebuah hubungan ke jenjang yang lebih serius dan mengikat.


Ketentuan hukum perkawinan secara umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selain itu terdapat keputusan menteri agama RI No.154/1991 tentang pelaksanaan intruksi presiden RI No.1/1991 tanggal 10 Juni 1991 mengenai kompilasi hukum Islam (keputusan menteri agama RI No.154/1991).

 

Dasar-dasar Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

dasar-dasar perkawinan menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut:

  1. Pasal 5

Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, dan pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah.

 2.     Pasal 6

Untuk memenuhi ketentuan dalam terjaminnya ketertiban perkawinan , setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dan Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

 3.     Pasal 7

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah namun dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a.    adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.      hilangnya Akta Nikah;
c.       adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d.      adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
e.       perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut               Undang-Undang No.1 Tahun 1974;

 4.     Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

 5.     Pasal 9

Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

 6.     Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 Syarat-syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:

1.     Syarat Umum

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

2.     Syarat Khusus

Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan. Harus ada wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

 

Larangan-larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

1.     Pasal 39. Larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, seperti seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya, karena pertalian kerabat semenda, seperti dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya, seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya, seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu "qobla al dukhul", seorang wanita bekas isteri keturunannya, karena pertalian sesusuan, seperti dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah, dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

2.     Pasal 40, larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, karena seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, karena seorang wanita yang tidak beragama islam.

3.     Pasal 41, Larangan melangsungkan perkawinan seorang pria dalam hal memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya seperti saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya, atau wanita dengan bibinya atau kemenakannya. selanjutnya seorang wanita  dilarang melangsungkan perkawinan dalam masa iddah.

 4.     Pasal 42, larangan seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

5.     Pasal 43, larangan  melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena bekas isterinya yang ditalak tiga kali dan/atau bekas isterinya yang dili`an.

6.  Pasal 44,  larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan terdiri dari 19 bab, dan terbagi menjadi 170 pasal. Mengenai  definisi perkawinan menurut Kompilasi hukum Islam disebutkan dalam Pasal 2 keputusan menteri agama RI No.154/1991, yaitu perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah untuk mencapai tertib masyarakat yang dicita citakan untuk melakukan perkawinan sesuai ajaran Agama Islam. Sebagaimana diketahui Kompilasi hukum Islam terbilang sebagai salah satu produk hukum di Indonesia yang membawa konsep konsep hukum islam di tengah tengah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Mahkamah agung, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya, Jakarta, Perpustakaan Nasional RI, 2011.

 

Republik Indonesia, intruksi presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

 

    

                                                                                                        Redaksi Artikel Ilmiah

                                                                                                    Hukumpress, 8 Februari 2022

                                                                                                    download file PDF klik disini